Pelabuhan Terakhir
Semilir angin menyejukan wajahku, aku masih terjaga dalam lamunanku. Kata-kata itu masih membekas dalam benakku, dimana saat orang tuanya bertemu dengan orang tuaku dan kami sama-sama bertatapan muka. Masih tak dapat ku terima kenyataan ini. Sebentar lagi aku akan menghadapi hari bahagiaku namun aku tak dapat merasakan sedikit dari kebahagian yang akan ku rasakan esok.Angga masih tak dapat ku hubungi. Seribu macam pertanyaan berkerumuh di otakku. Apa dia sedang sibuk hingga tak dapat membaca pesan dariku, atau dia juga merasakan hal yang sama seperti ku namun ku juga tak ingin hal-hal yang tak ku inginkan terjadi padanya teringat akan sikapnya yang sangat temperamental.
Tiba-tiba suara handphoneku berbunyi. Aku berharap agar itu darinya. dan benar dia menelponku. Segera ku angkat panggilan darinya.
“Asalamualaikum,kamu udah baca pesan dariku?” tanyaku cemas.
“walaikum salam, aku udah baca, apa benar itu keinginan kamu? Jawabanya bertanya balik padaku.
“maafin aku, aa….” Tiba-tiba saja lidah ini kaku, tak dapat meneruskan apa yang seharusnya ku katakan.
“terima kasih untuk pengorbanan kamu selama ini, tapi hanya itu yang dapat aku berikan, semoga kamu bahagia dengannya” ucapnya seakan memotong pembicaraanku.
“tapi kamu datang kan?” sebelum aku dapat mendengar jawabannya, diujung telepon sana telah menutup pembicaraan.
Ku mencoba menghubunginya kembali. Namun tak tersambung denganya. Sepertinya ia telah menonaktifkan nomornya agar tak dapat dihubungi. Berulang kali tetap saja tak membuahkan hasil. Aku mulai meyerah. Aku hanya berharap semoga esok dapat berjalan dengan lancar.
@_@
Tinggal satu hari lagi sebelum hari sakral itu berlangsung. Aku masih saja bisa bernafas tenang seakan tak ada apa-apa. Mungkin di rumah sedang didesign semenarik mungkin ruangan yang akan menjadi saksi perjalanan terakhirku dan sudah jelas ibuku yang sangat antusias dalam menetukan semuannya. Mulai dari undangan, pakaian, foto pre weeding hingga design ruangan dan dia pula yang membujukku agar aku cepat-cepat ke jenjang yang lebih serius yang akan ditentukan besok.
Menelusuri taman tempat aku dengannya, aku hanya dapat membayangkan masa-masa dulu waktu aku pertama kali bertemu dengannya. Saat perkenalan sungguh dia adalah pria pertama yang berani mendekatiku. Dulu aku sangat membencinya namun perlahan berjalannya satu tahun perkenalan kami hingga tiga tahun masa pacaran, aku sangat mencintainya. Dia pria yang dapat membuatku menangis saat tak ada kabarnya sama sekali, dan yang membuatku bahagia saat dia datang tepat waktu untuk sekedar membuatku tersenyum. Namun apakah aku layak merasakan itu kembali ketika aku mulai menyampakannya, membuat emosinya naik, hingga berulang kali ia harus di opname di rumah sakit karena darah tingginya yang sudah melebihi batas normal. Aku tak kuasa untuk menyakitinya. Namun aku juga tak kuasa untuk bertahan lebih lama lagi dengannya. Dia seorang yang temperamental, melakukan apapun dengan rasa bukan dengan logika. Berulang kali aku berusaha menjelaskan namun tamparan dipelipis wajahku yang berulang kali membuatku sakit. Cemburu yang membakar hatinya kian menjadi akhir-akhir ini. Hingga aku berdoa pada sang kuasa agar semua itu berakhir dengan indah. Dan saat doaku dijabah oleh sang kuasa mengapa hatiku menjadi bimbang.
Ingin rasanya aku mengakhiri hidupku kali ini agar tak pernah ada hari esok, agar tak kan pernah ada hari-hari menyakitkan itu. Aku sudah mengambil posisi terbaikku. Fikiranku sungguh kosong, aku hanya berdoa agar tuhan mengampuni dosaku atas perlakuanku ini. Tiba-tiba di hadapanku telah meluncur dengan cepat truk tronton dengan kecepatan yang tak dapat ku perkirakan. Kakiku mulai terkunci, mataku mulai kupejamkan agar aku tak dapat melihat kejadian tragis ini.
“Sreettttttt” aku terjatuh. Mungkin aku sudah mati,fikirku.
“Maya bangun, kamu engga apa-apa kan” sebuah suara membangunkanku.
Aku mulai melihat sekelilingku, “ruangan ini seperti aku kenal” batinku dalam hati. Saat ku sadar ternyata ini adalah rumahku sendiri. Ibuku mulai membimbingku seraya memarahiku atas perlakuanku.
“apa yang kamu lakukan tadi may”
“aa…ku engga ngelakuin apa-apa bu” ucapku tertahan.
“bohong, kamu ini kenapa sih, udah tau besok adalah hari bahagia kamu, tapi kenapa kamu ngelakuin hal bodoh itu, apa kamu sudah bosan hidup” emosi ibu sudah mulai menjadi.
“maafin aku bu, sungguh aku belum siap untuk menikah” jawabku yang mulai meneteskan air mata
“karena kamu masih diperbudak sama mantan kamu itu, menurut ibu kamu sudah dibutakan oleh cinta, sehingga kamu tidak dapat lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk buat diri kamu”
“sudahlah bu” ucap Indra yang menenangkan ibu dari amarahnya.
Indra adalah seseorang yang dipilih Ibu untuk menemani hidupku selamanya, karena aku adalah anak satu-satunya harapan ibu, setelah ayahku meninggal dunia saat aku berumur lima tahun karena serangan stroke, jadi mau tidak mau aku harus menuruti perintahnya. Namun menurutku itu sama saja tidak adil, apakah cinta patut dipaksakan?
“biarkan saja ndra, biar dia tahu. May kamu tahu siapa yang menyelamatkan dan membopong kamu kerumah, Indra bukan Angga, kalaupun Angga memang benar-benar cinta sama kamu, seharusnya dia bahagia atas pernikahan kamu, bukannya menghindar saat dia dimintai untuk menikah denganmu, ibu harap kamu fikir baik-baik kata-kata ibu,dan ibu mau besok kamu sudah siap di pelaminan” tegasnya kepadaku sebelum ia pergi bersama Indra untuk meninggalkanku di kamarku ini.
Kata-kata yang keluar dari mulut ibu masih terbayang dalam otakku. Memang benar apa yang dikatakan ibu tentang mantan pacarku. Saat ku bertemu dengan Angga dan kupertanyakan hubunganku dengannya. Angga tidak dapat meyakinkanku, alias tak ada jawaban darinya, dia justru mengalihkan dengan kata-kata lain, padahal disaat itu aku sangat butuh jawaban darinya.
Kini pendirianku mulai goyah, sepertinya aku tak dapat mempertahankan lagi apa yang ku pertahankan sebelumnya. Aku sadar sepertinya aku yang salah, dan aku harus siap untuk hari terpenting di dalam hidupku yang akan ditentukan esok.
@_@
Hari yang ditunggu-tunggu pun terjadi. Iring-iringan dari pihak laki-laki mulai terlihat dari luar rumahku, petasanpun mulai dinyalakan, disana tampak calon suamiku, kedua mertuaku yang setia menemani disampingnya dan pihak keluarga serta tetanganya yang mengiringi di belakangnya dengan membawa seserahan.
Jantungku berdetak cepat saat aku duduk disampinya, di depan penghulu yang akan menikahiku dengannya. Aku mulai melihat disekitarku apa seseorang yang ku harap hadir ke pestaku akan hadir. Namun tak terlihat batang hidungnya sama sekali. Dan ibuku mulai mengenakan kain dikepalaku menyatu dengan kepalanya. Acara ini tampak hening. Indra mulai mengulurkan telapak tanganya seraya dengan telapak tangan penghulu itu.
Penghulu itu mengucapkan Ijab disambut Lafaz Qobul oleh Indra.
”Ananda Indra Bin Muhammad Syahrizal, saya nikahkan engkau dan kawinkan engkau dengan pinanganmu Maya Nuraini Binti Zulfah dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dibayar tunai”
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Maya Nuraini Binti Zulfah dengan mas kawin seperangkat alat sholat yang tersebut tunai”
Dan lantunan “sah” mengikuti setelahnya. Air mataku mulai mengalir di sela-sela wajahku. Aku tak tahu apa yang ku rasakan saat ini. Sekilas aku melihat wajah Angga berada di sudut ruangan namun tak lama ia berlalu pergi. Dengan kehadirannya,ku harap ku kuat melalui semua ini hingga acara ini pun selesai dengan khitmat.
@_@
Aku lelah akan acara yang berlangsung kemarin hingga malamnya aku dipersilahkan tidur lebih dulu. Dan malam ini aku tak punya alasan untuk menghindar darinya. mungkin malam ini akan menjadi saksi dimana aku melabuhkan cintaku untuk yang terakhir kalinya. Aku mulai mendengar langkah kakinya dari luar kamarku. Aku berharap agar itu bukan dia. Secepat kilat aku menemukan ide. Langsung ku ambil posisi tidur terbaikku, dengan menutup selimut ke badanku. Tiba-tiba tangan itu menyergap ke pundakku.
“aaaaaaggghhhhh” aku teriak bukan main, takut akan apa yang terjadi pada diriku bagai orang yang disandra fikirku dalam hati.
“sssttttttt,jangan teriak-teriak,engga enak di denger dari luar” ucap seseorang yang setelah ku pandangi ternyata benar itu Indra.
“mau ngapain kamu disini” bulu kudukku mulai merinding,aku sangat takut dengan keadaan ini.
“kamu itu lucu ya, aku kan sudah sah menjadi suami kamu, jadi apa yang kamu takutkan?”tanyanya sambil tersenyum padaku.
“apa yang kamu inginkan dari aku, sampai kamu memutuskan untuk menikahi aku?” tanyaku serius.
“aku sadar cinta itu memang engga bisa dipaksakan, tapi kamu jangan takut,kalaupun kamu engga ingin semua ini terjadi, secepatnya aku akan membuat surat perceraian, dan aku berjanji kamu akan baik-baik saja”
“kamu yakin? kenapa kamu sebaik itu” tanyaku polos.
“dulu ibumu pernah cerita tentang kamu dengan mantan pacarmu. Dan aku hanya ingin melepaskan kamu dari semua masalahmu selama ini, aku tahu kamu sangat mencintainya,namun kamu engga pantas untuk merasakan kekerasan itu. Aku sangat menghormati wanita dan juga kamu. Tadinya aku berharap denganku kamu bisa bahagia, tapi kalau itu membuatmu semakin sakit, lebih baik aku yang pergi, aku juga minta maaf karena terlalu memaksakan hatimu,sekarang kamu tidur, aku tidak akan tidur disini” ucapnya sambil beranjak dari pandanganku.
“tunggu, jangan pergi” sahutku berharap dia akan kembali.
Dia tersenyum sejenak memandangi wajahku yang sudah mulai basah dengan air mata. Mungkin dia tahu apa yang ku rasakan. Aku mulai tersadar dari fikiranku selama ini, aku merasa sangat bersalah padanya. Kenapa aku merelakan orang yang benar-benar baik padaku dan mengharapkan orang yang sudah jelas menyakitiku,aku hanya diperbudak oleh rasa yang salah.
“tolong ajari aku bagaimana aku harus memulai semua ini dari awal, aku ingin menghapus semua yang telah berlalu dan memulai lembaran baru yang indah bersamamu, dan ku harap kamu adalah pelabuhan terakhirku dari perjalananku selama ini”
Dia mencium hangat keningku, membawaku ke dalam pelukannya. Kepalaku kini sudah berada di dalam dekapannya.
“kita bisa memulainya dari sekarang, aku minta kamu jangan menangis lagi karena kamu harus bahagia bersamaku,dan kita akan bersama-sama melewati hari ini hingga kita dikaruniai anak dan cucu sampai kita dipertemukan disurga nanti, kamu mau menemaniku disaat suka maupun duka?” ucapnya manis sambil menghapus air mataku.
“Jika tuhan telah mempertemukan kita, insya allah aku akan berbakti pada suamiku saat ini” jawabku sambil mempererat pelukanku denganya.
Desiran angin malam memasuki lubang angin kamarku. Sangat dingin memang namun tak terasa saat dia telah memelukku erat hingga aku tertidur pulas. Dan esoknya aku bergegas bangun lebih dulu darinya. aku akan memberikannya hadiah untuk malam yang indah itu, setiap pagi tak lupa ku buatkan susu hangat dengan roti tawar kesukaannya. Dan dia sangat menyukai itu, bahkan setelah satu tahun pernikahanku dengannya, kami dikarunia anak lelaki yang tampan sama seperti dirinya. Dan aku harap dialah pelabuhan terakhirku sampai kita dipertemukan disurga kelak.
_END_